Es Krim Cokelat Vanila

Ananda Althafunnisa

Peluh deras mengalir hingga rambut menempel di lehernya. Begitu terik hingga burung pun enggan keluar dari sarangnya. Gadis itu tetap bersikeras dengan koran-koran yang masih ia jinjing di tangan. Baju kusam yang longgar melindungi tubuh kurus Aida.
“Koran !! Koran !!” teriaknya dengan tenaga yang masih tersisa. “Korannya, pak ?” tawarnya pada seorang bapak di balik kaca mobil yang terbuka.
“Berapa, Nak ?” sepertinya bapak itu tertarik untuk membeli.
“Dua ribu saja, Pak.” Jawab Aida dengan senyum mengembang meski tenggorokannya begitu kering.
“Satu ya Nak.” Ujar bapak itu sambil mengulurkan uang dua ribuan.
“Terima kasih, Pak.” Aida bersyukur, sudah lima koran terjual siang itu.
“Koran !! Koran !!” teriakkan Aida menggema kembali ke penjuru persimpangan pusat kota Semarang yang padat.
Matahari berada di puncaknya saat Aida memutuskan untuk beristirahat sebentar dibawah naungan atap halte. Koran masih cukup banyak yang belum terjual. Bajunya yang memudar warnanya karena terlalu sering tersengat matahari kini basah oleh keringatnya. Beberapa detik kemudian pandangan Aida terhenti pada seorang gadis seumurannya yang sedang menikmati es krim di samping ibunya. 
. . .

selanjutnya baca disini :

Comments

Popular Posts