Lembayung Gelap
Pagi menyapa dengan dingin, embun berlalu membekaskan lembab, kemudian mentari menghangatkan bumi, seperti seharusnya. Masakan emak mengabarkan bahwa sebentar lagi saatnya sarapan dan aku harus bergegas menuju sendang1 untuk mandi. Aroma nasi putih mengepul bersama sambal dan daun glandir, sesekali dengan ikan asin jika emak menerima upah lebih dari memilah gabah.
Siang menemaniku dalam hening, tanpa emak. Ia harus mengais rejeki di hamparan permadani jagung atau padi milik Pak Sugiyono. Aku meresapi kesendirian. Hanya desau angin, kicau burung, gemerisik rumpun bambu atau alunan adzan dari surau yang terkadang mengusir sepi. Sengat mentari di ubun, perlahan mencapai puncak, lalu kembali lembut menjelang akhir penantianku akan kepulangan emak.
Kala maghrib merambah bumi, sejenak kami menikmati senja. Kusandarkan kepala pada pangkuan emak, khidmat menikmati usapan tangan kasarnya menyisir rambutku, dulu.
“Mari kesana, Neng.” Ajaknya memecah lamunan. Aku mengangguk sambil menanti tangannya mengamit jemariku. Menuntunku perlahan dengan sabar.
“Iya, Kakang. Eneng mau diajak kemana?” tanyaku tak ia jawab.
Aku mencoba merasakan angin. Ternyata sore telah mencapai pantai ini. Aku biarkan kakiku telanjang, menikmati pasir yang masih asing bagi gadis dari ranah liat sepertiku. Ia berhenti lalu merangkul bahuku untuk duduk. Girang tak kepalang, seluruh kakiku kini dapat merasakan pasir, perlahan aku cengkeram lalu kuremas. Kudengar suamiku tertawa kecil, mungkin geli melihatku.
“Senja akan memulai pertunjukannya. Mengembangkan layar jingga yang megah. Menguasai batas langit dengan keanggunan lembayung, permainkan getar angin hingga semua terpaku menatapnya. Dulu aku hanya merasakan sendiri, tapi kini seorang bidadari menyempurnakan senjaku, itu kamu Neng.” Suamiku memainkan syair dalam bisik yang senada dengan gemuruh ombak. Aku terdiam.
Seperti apa jingga itu? dan bagaimana langit? Juga siapakah bidadari? Mengapa Kakang menyebutku demikian? pertanyaan berkecamuk.
“Adakah yang salah?” tanyanya setelah beberapa menit aku terdiam.
“Ndak apa-apa, Kakang. Cuma....” aku menelan ludah. “Eneng ndak ngerti apa maksud Kakang. Emak ndak pernah cerita apa itu jingga, lembayung dan bidadari. Eneng cuma tahu padi, tanah dan kayu. Maaf, Kang.” Jawabku lirih.
Hening. Aku kembali meremas pasir.
“Tak perlu meminta maaf. Memang kakang ingin melukis senja agar Eneng tahu keindahannya. Jingga itu sebuah warna perpaduan, penuh kedamaian. Sedang lembayung merangkai mahkota bagi sang langit. Mengantung tenang di atas lautan. Tepat di depan Eneng sekarang. Setelah pasir, air laut, dan disanalah pertunjukan itu.” ujarnya mengarahkan tanganku ke depan.
“Lalu bidadari?”
“Ia adalah makhluk yang sangat cantik Neng. Mereka menghuni surga.”
“Surga?”
“Ya. Tempat yang menampung segala keindahan. Hingga mata kita tak akan bosan menatap segala yang ada.”
“Itu untuk mereka yang bisa melihat. Aku buta.”
“Istriku, disana tak akan ada kekurangan. Semua bahagia. Termasuk Eneng. Allah akan menggantikan mata Eneng dengan yang lebih indah.”
“Benarkah?” tanyaku tak percaya.
“Iya. Disana Eneng bisa melihat keindahan lembayung seperti yang ada sekarang, dan jauh lebih indah.”
Aku tersenyum sambil merasakan angin. Kupejamkan mata sambil membayangkan bagaimana lembayung itu. Gelap.
1 tempat untuk mandi berupa bak besar dengan pancuran air.
Semarang, 06 Mei 2012
Ananda Althafunnisa

Comments
Post a Comment
Tulis komentar anda disini
dengan bahasa lugas dan santun, Terimakasih