Ananda Althafunnisa

Angin sore masuk melalui jendela kamar, hembuskan bau semerbak bunga dari kebun. Aku diam memandangi dunia luar yang tenang. Pondok kecil kami, aku dan anakku Anisa, diam sunyi diantara gemerisik rimbun pepohonan.  Waktu terasa begitu lama saat harus menunggu kehadiran mereka. Lamunan yang membayang terpecah oleh belaian lembut tangan gadis kecilku yang dua bulan lagi akan menikah. Sepertinya baru kemarin aku mengantarnya masuk Taman Kanak-kanak.
Ia letakkan secangkir air putih hangat di atas meja. Sambil membisikkan pelan ke telingaku “Solat dulu bunda, sudah masuk waktu ashar”.  Ia ambilkan mukena dan ditaruh di sampingku. Kemudian ia tersenyum dan berlalu pergi untuk menyiram bunga. Saat melihatnya aku selalu seperti melihat diriku sendiri saat muda dulu.
Selepas sholat, kupandangi foto tua di samping cangkir. Wajahnya tak pernah lekang oleh masa. Suamiku, Abdullah. Sepertinya baru kemarin aku mencium bau tubuhnya, memeluknya di bawah guyuran hujan. Tak ada sedetikpun kulalui tanpa merindukannya.
Kupandangi beberapa foto lain. Kenangan manis saat wisudaku ditemani olehnya, senyumnya yang kocak sembunyikan jiwa yang lebih kuat dari karang-karang pesisir. Hanya aku yang tahu. Tak pernah kuduga sebelumnya, pertemuan singkat kami berakhir dengan kisah paling manis di hidupku.
***
Suatu sore saat secara tidak sengaja, aku menabrak seorang laki-laki di depan perpustakaan umum. Dia membawa sekeranjang donat dan kue basah dan semuanya berserakan jatuh ke tanah. . . .


baca selengkapnya disini :
http://www.ziddu.com/download/19061621/AmanatTeroris.docx.html

Comments

Popular Posts