Seperti Senja Menanti Petang

Ananda Althafunnisa


Senja sudah hadir di batas langit dan lautan di kejauhan, biaskan suasana jingga kepada dunia yang menanti petang. Aku masih betah menikmati kesunyian yang mendamaikan ini. Aku tak berada di tepi pantai. Bahkan sebenarnya aku berada di atas dataran tinggi, di  belakang rumah sepupuku dari garis keturunan ibu. Aku sering kesini untuk sekedar menikmati keindahan matahari yang terbenam, karena tak pernah kudapatkan dirumahku yang berada di dataran rendah. Beruntungnya pakde dan budhe selalu menerimaku dengan tangan terbuka. Sepupuku Anesa duduk disebelahku sebelum budhe memanggilnya kedalam. Beberapa saat kemudian ia berlari kearahku.
“Mbak, cepat pulang. Dicari bulek.” Ujarnya dengan tutur yang halus. Aku mengerti maksudnya. Dengan langkah pasrah ku tinggalkan kedamaian ini. Aku harus pulang.
***
Dua belas tahun yang lalu, seorang bayi lahir di rumah ayah dan ibu. Bukan oleh tangisnya yang mengundang tetes air mata haru, melainkan kesunyian yang menemaninya hadir ke alam fana. Ia tak sedikitpun merengek, hingga bidan yang membantu proses kelahirannya panik. Tak ada yang salah dengan bayi itu. Ia lahir dengan anggota tubuh yang sempurna, bahkan wajahnya sangat lucu dengan pipi yang merona. Matanya terpejam tapi tangannya mencari-cari sesuatu. Ibunya yang bernaluri paling dekat dengannya langsung memberinya air susu. Ia tertidur pulas dalam sekejap.
Sang ayah hanya termenung antara heran dan gelisah. Anaknya tak merengek sedikitpun. Ia terus berpikir itu mungkin pertanda buruk. Tapi sang ibu yang bijak berkata “Dia lucu sekali ya mas. Gusti Allah telah memberi kita anugerah dua putri yang cantik-cantik. Kau ingin memberi nama dia siapa ?”
Kata-kata wanita itu bagaikan sihir, sekejap menenangkan suasana. Sang ayah langsung sibuk memilihkan nama, dan yang ia berikan kepada sang bidadari kecil adalah Athifah Sabah, seorang anak penuh belas kasih yang lahir di pagi hari.

Comments

Popular Posts