Tangisan Tahun Baru
Ananda Althafunnisa
Bungkusan nasi dengan lauk tempe aku dekap erat di depan dada. Jalanan tak kunjung sepi dan memberi kesempatan untukku menyeberang. Matahari menyengat siang itu, trotoar seperti wajan penggorengan dan aku bagai ikan yang tak kunjung diangkat. Hitam legam.
Keringat meleleh tiada henti membasahi kaos bergambar hello kitty yang kupakai. Sandalku yang berlubang tak mampu melindungiku, kakiku terus bergeliat seperti cacing kepanasan. Lampu merah akan muncul beberapa detik lagi, aku bersiap untuk menyeberang.
“Mbak Leily !!! Mbaak !!” teriakku sambil mencarinya. Kakak sekaligus anggota keluarga satu-satunya yang masih kumiliki, setelah bapak dan ibu meninggal dalam kecelakaan beruntun beberapa tahun lalu.
“Mbaaakkk !! Anis udah pulang !!” teriakku kembali memanggilnya. Biasanya jam lima sore dia sudah di rumah. Apa dia mencariku? Karena memang aku terlambat pulang setengah jam.
Aku terduduk lemas di atas rumah kardus kami. Tempat tinggal kami yang baru, karena rumah yang dulu dijual untuk membayar hutang bapak. Nafasku masih tersengal-sengal karena berlari. Nasi bungkus kuletakkan di samping kakiku. Keringat semakin deras keluar. Mbak Leily masih belum terlihat. Padahal aku pengin segera makan nasi bungkus ini, perutku belum terisi sejak siang tadi.
“Mbak kemana sih ?” tanyaku dalam hati.


Comments
Post a Comment
Tulis komentar anda disini
dengan bahasa lugas dan santun, Terimakasih