Sahabat dari Taman Impian


Dua belas tahun silam, huruf dan kata merasuki jiwaku tuk pertama kalinya saat guru taman kanak menuliskannya dengan kapur berwarna, mengajariku mengeja hingga aku mengenal sesosok makhluk bernama buku.  

Sekolah dasar yang selalu ramai dengan permainan berubah saat kepala sekolah ‘menghidupkan’ jiwa baru untuk kami, perpustakaan dengan buku usang yang berjajar tak rapih, kuat senandungnya memanggilku tuk melepaskan diri.

Persahabatan kami tak putus meski rok yang kupakai berganti biru. Bahkan rupa mereka menawan pandangku, menarik tanganku, lalu menuntun langkahku menuju meja petugas perpustakaan dan mengendalikan genggamanku tuk turut membawanya setiap sore lenggang di beranda rumah. Kehadirannya telah menjadi candu bagiku, seperti narkoba yang ‘melambungkan’, aku kan lemah kala dia tak ada tuk mengisi sepi. Tak terpungkiri kita tlah menyatu.

Kini, dengan kekuatan tersembunyi, dia memapahku menuju sebuah taman elok tempat para penyair, pujangga dan penulis menuang ramuan mujarab ciptaan mereka yang kemudian menjelma jutaan makhluk kotak berupa lembaran, melayang menggoda setiap pecandu akut sepertiku.

“Sahabat? Jadi disini kau lahir?” tanyaku memekik hampir tak percaya. Dia mengangguk.

“Oh! Betapa hebat para manusia itu, melahirkan makhluk sepertimu!” girangku menyeruak tanpa sisa. “Aku ingin seperti mereka!” lanjutku menghampiri kumpulan manusia itu.

“Tak mudah, Gadis kecil. Kau punya apa?”sebuah bisikan menahan langkah.

“Aku punya kemauan!”

“Itu saja?” tanya suara itu melecehkan.

“Aku punya semangat!”

“Hahahaha...” tawanya menyayat telinga.

“Aku punya ketekunan, keinginan tuk belajar, dan tekad!”

“Pulanglah dan peluk bonekamu! Kau tak akan mampu melewati ladang kekecewaan, lembah kekalahan, dan jurang keputus asaan.”

“Aku kan melewatinya! Itu pasti mungkin!”

“Itu hanya mimpimu!”

“Aku toh sama manusia seperti mereka! Enyahlah kau! Aku akan memulai mencari bahan ramuan,  menimba air pengetahuan, menyiapkan diri hadapi tantangan! Aku tak takut denganmu!”

Hening.

Dengan perlahan aku menggores kalimat pada pelepah pohon ilmu, “Aku pasti bisa menjadi mereka, Bismillah!”.

Semarang, 6 Juni 2012 

Comments

Popular Posts